Hukum Melafadzkan Do’a Niat Puasa Ramadhan (Nawaitu shouma ghodin..) : Apakah niat puasa Ramadhan disyaratkan setiap hari di bulan Ramadhan atau cukup dengan niat di awal untuk sebulan penuh?
Posted 10 August, 2010 by dr.Abu Hana | أبو هـنـاء ألفردان | in Sunnah dan Bid'ah (السنة والبدعة). Tagged: bacaan niat puasa,bacaan puasa ramadhan, do'a puasa, nawaitu shauma ghodin, niat puasa, niat puasa ramadhan, niat shaum. 10 Comments
5 Votes
Permasalahan Melafadzkan Niat Puasa Ramadhan sesungguhnya sudah jelas sebagaimana Imam An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[Rowdhotuth Tholibin, 1/268 ] Semakin keliru lagi jika niat ini dibaca bareng-bareng selepas shalat tarawih.
Seputar Niat Puasa
Al-Ustadz Hammad Abu Muawiah
Hukum Niat
Niat adalah rukun berpuasa sebagaimana pada seluruh ibadah. Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda,“Sesungguhnya setiap amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.”(HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Al-Khaththab)
Niat dalam ibadah, baik wudhu, shalat, puasa dan selainnya tidak perlu dilafazhkan. Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Mengucapkan niat (secara jahr) tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”(Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219) Dan dalam (22/236-237) beliau berkata, “Niat adalah maksud dan kehendak, sedangkan maksud dan kehendak tempatnya adalah di hati, bukan di lidah, berdasarkan kesepakatan orang-orang yang berakal. Walaupun dia berniat dengan hatinya (tanpa memantapkannya dengan ucapan, pen.), Maka niatnya syah menurut Imam Empat dan menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang belakangan.” Maka sekedar bangunnya seseorang di akhir malam untuk makan sahur -padahal dia tidak biasa bangun di akhir malam-, itu sudah menunjukkan dia mempunyai maksud dan kehendak -dan itulah niat- untuk berpuasa.
Waktu Berniat
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar dan Hafshah -radhiallahu anhuma- bahwa keduanya berkata:
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
Hadits ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai hukum marfu’, yakni dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya merupakan sesuatu yang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.
Maka dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya berniat dari malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.
“Barangsiapa yang tidak memalamkan niatnya sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2454, At-Tirmizi no. 730, An-Nasai (4/196), dan Ibnu Majah no. 1700)
Hadits ini disebutkan oleh sejumlah ulama mempunyai hukum marfu’, yakni dihukumi kalau Nabi yang mengucapkannya. Karena isinya merupakan sesuatu yang bukan berasal dari ijtihad dan pendapat pribadi.
Maka dari hadits ini jelas bahwa waktu niat adalah sepanjang malam sampai terbitnya fajar. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya berniat dari malam hari dan tidak syahnya puasa orang yang berniat setelah terbitnya fajar. Ini adalah pendapat mayoritas Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah. dan Al-Hanabilah. Dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani.
Catatan:
Kecuali kalau dia baru mendengar kabar hilal ramadhan di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
[Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196, dan Al-Muhalla no. 728]
Kecuali kalau dia baru mendengar kabar hilal ramadhan di pagi hari, maka ketika itu hendaknya dia berpuasa dan puasanya syah, karena tidak mungkin bagi dia untuk kembali berniat di malam hari.
[Al-Mughni: 3/7, Al-Majmu’: 6/289-290, An-Nail: 4/196, dan Al-Muhalla no. 728]
Apakah Syah Berniat Di Awal Ramadhan Untuk Sebulan Penuh?
Pendapat yang menyatakannya syahnya adalah pendapat Zufar, Malik, salah satu riwayat dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Ishaq. Hal itu karena puasa ramadhan adalah satu kesatuan, sama seperti rangkaian ibadah haji yang cukup diniatkan sekali.
Sementara jumhur ulama berpendapat wajibnya berniat setiap malamnya berdalilkan hadits Hafshah dan Ibnu Umar di atas.
Mereka mengatakan: Karena jumlah malam dalam ramadhan adalah 29 atau 30 hari maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam tersebut.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Mereka mengatakan: Karena jumlah malam dalam ramadhan adalah 29 atau 30 hari maka wajib untuk memalamkan niat pada tiap malam tersebut.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Akibat perbedaan pendapat ini nampak pada satu masalah yaitu:
Jika seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur sebelum terbenamnya matahari dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar kedua. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan puasanya tidak syah walaupun dia berpuasa, sementara menurut pendapat yang kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal ramadhan.
Maka dari sini kami berkesimpulan bahwa yang kuat adalah pendapat yang pertama, yakni yang menyatakan bolehnya berniat di awal ramadhan untuk sebulan penuh, wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’: 6/302, Kitab Ash-Shiyam: 1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]
Jika seorang yang wajib berpuasa pingsan atau tidur sebelum terbenamnya matahari dan baru sadar atau bangun setelah terbitnya fajar kedua. Maka menurut pendapat mayoritas ulama, dia tidak boleh berpuasa dan puasanya tidak syah walaupun dia berpuasa, sementara menurut pendapat yang kedua dia boleh berpuasa dan puasanya syah karena telah berniat di awal ramadhan.
Maka dari sini kami berkesimpulan bahwa yang kuat adalah pendapat yang pertama, yakni yang menyatakan bolehnya berniat di awal ramadhan untuk sebulan penuh, wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/9, Al-Majmu’: 6/302, Kitab Ash-Shiyam: 1/198-199, Asy-Syarhul Mumti’: 6/369, dan At-Taudhih: 3/151]
SUMBER : http://al-atsariyyah.com/?p=840
* * *
Apakah niat puasa Ramadhan disyaratkan pada setiap hari di bulan Ramadhan ataukah cukup dengan niat di awal hari Ramadhan?
Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary
Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha dan ahlil-ilmi. Terdapat dua pendapat dikalangan mereka yang juga merupakan dua riwayat dari Imam Ahmad.
Pendapat pertama, bahwa niat diharuskan pada setiap hari pada bulan Ramadhan.
Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Mereka berargumen dengan hadits-hadits serta atsar yang mauquf kepada Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah -yang telah disebutkan sebelumnya-, bahwa tidak sah niat bagi yang tidak meniatkannya di waktu malam.
Dalam penafsiran ulama yang menyatakan pendapat ini, hadits dan atsar tersebut berlaku pada setiap hari di bulan Ramadhan secara terpisah. Disebabkan puasa Ramadhan adalah ibadah dan setiap ibadah disyaratkan adanya niat.
Mereka juga mengatakan, bahwa hal tersebut di analogikan kepada shalat lima waktu pada setiap hari, dimana diantara dua ibadah shalat terpisahkan dengan perbuatan-perbuatan yang bukan bagian dari ibadah shalat, bahkan menggugurkan ibadah shalat. Dengan demikian setiap shalat mengharuskan adanya niat tersendiri secara terpisah. Demikian halnya dengan ibadah puasa.
Pendapat kedua, niat hanya diharuskan sekali di awal bulan. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, al-Laits bin Sa’ad, Imam Ahmad pada salah satu riwayat beliau dan Ishaq.
Argumentasi mereka adalah firman Allah subhanahu,
“Bagi siapa yang mendapati bulan Ramadhan diantara kalian, maka diharuskan baginya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Mereka mengatakan, bahwa penamaan bulan Ramadhan mengacu pada satu zaman waktu. Dan ibadah puasa Ramadhan dari awal hingga akhir adalah sebuah ibadah yang satu layaknya shalat dan haji, dengan begitu hanya membutuhkan sekali niat.
Dan juga dengan hadits Umar bin al-Khaththab -radhiallahu ‘anhuyang masyhur, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal haruslah disertai dengan niat. ..”
Ash-Shan’ani mengatakan, ”Dikarenakan Ramadhan kedudukannya sama dengan sebuah ibadah, dan berbuka pada malam-malam Ramadhan juga merupakan ibadah, yang dengan berbuka tersebut akan membantu pengerjaan puasa pada siang hari Ramadhan.”
Pendapat yang shahih, adalah pendapat yang kedua. Sedangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat keharusan niat disetiap hari, telah diketahui ke-dha’ifannya. Dan atsar Hafshah, Ibnu Umar dan Aisyah sendiri, mujmal/global, dapat ditafsirkan pemberlakuannya -yakni niat- pada setiap hari, dan juga hanya pada sekali di awal Ramadhan. Wallahu a’lam.
SUMBER :
edisi e-book dari “Risalah Ahkam Ramadhan” yang kami transkrip / salin dari artikel-artikel yang terdapat di web darelsalam yang merupakan tulisan dari Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary hafizhahullah.
Jadi, Perlu diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa adalah salah satu waktu terkabulnya do’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabadh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Adapun do’a berbuka yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yaitu,
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)”
Riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45)
Kesimpulannya, do’a “Allahumma laka shumtu ...” berasal dari hadits hadits dho’if (lemah). Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Penulis: M. Pardamean Nasution.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar