Sabtu, 20 Juli 2013

DZIKIR DENGAN SUARA KERAS.


Dzikir Dengan Suara Keras

BAB SHALAT.
Pak ustadz, saya mau tanya tentang hukum berdzikir dengan suara keras.

Menurut satu ormas berdzikir dengan suara keras tidak diperbolehkan, sedangkan lainnya memperbolehkan. Yang tidak memperbolehkan dasar hukumnya adalah Al-Quran, tapi saya lupa tepatnya. Sedangkan yang memperbolehkan dasarnya adalah hadits kalau tidak salah.

Bagaimana kita menyikapinya?

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Urusan mengeraskan bacaan dzikir atau melirihkan sebagai sudah menjadi perbedaan pendapat sejak zaman dahulu kala, bukan sekedar perbedaan antara satu ormas dengan ormas lainnya di masa sekarang.

Sebagian kalangan ulama memang memakruhkan dzikir sesudah shalat dibaca dengan keras. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian kalangan lainnya membolehkannya. Tentu masing-masing mereka punya banyak dalil, bukan hanya dari Al-Quran atau sunnah saja, tetapi juga dengan berbagai hujjah.

Jadi masalahnya bukan yang satu pakai dalil Al-Quran lalu kita anggap lebih benar, sedangkan yang lain pakai dalil hadits lalu kita anggap salah, karena kurang kuat dalilnya. Duduk persoalannya tidak demikian.

Yang terjadi justru mereka punya dalil dari Al-Quran dan sunnah yang sama-sama kuat, tetapi ternyata memang dalil-dalil itu yang satu dengan yang lain saling bertabarakan atau berbeda. Maka wajar kalau para ulama juga berbeda pendapat dalam menarik kesimpulannya. Ada yang memakruhkan, dan ada juga yang membolehkan.1. Memakruhkan
Mereka yang memakruhkan dzikir dengan suara yang keras, mendasarkan hujjah kepada dalil-dalil berikut ini :
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raaf : 55)
Ayat ini dengan jelas memberikan petunjuk agar dalam berdoa itu tidak mengeraskan suara.
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara (QS. Al-A’raaf : 205)
Sekilas memang kedua ayat di atas tegas memberikan petunjuk pula agar tidak mengeraskan suara dalam berdzikir. Selain ayat di atas juga ada hadits yang melarang dzikir dengan suara keras.
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahuanhu menceritakan bahwa ketika dirinya beserta Rasulullah SAW pulang dari suatu peperangan atau perjalanan, apabila melihat sebuah lembah di antara dua gunung, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang keras. Namun Rasulullah SAW menegur mereka dan bersabda :
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلىَ أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَسْتُمْ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِباً إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعاً قَرِيباً وَهُوَ مَعَكُمْ
Nabi SAW. bersabda: “Wahai sekalian manusia, rendahkanlah suaramu, karena kamu bukan memanggil yang tuli dan bukan pula memanggil yang ghaib. Kamu memanggil Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama kamu.” (HR. Bukhari Muslim)
Imam Syihabuddin Al-Qasthalani ketika mengomentari hadits itu mengatakan bahwa makruh hukumnya mengeraskan suara dalam berdoa dan berddzikir.
2. Membolehkan
Sedangkan mereka yang membolehkan dzikir dengan suara yang keras terdengar, di antaranya ada yang merujukkan pendapatnya berdasarkan dalilnya pada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Sesungguhnya mengeraskan suara dikala berdzikir seusai orang-orang melaksanakan Shalat fardu pernah dilakukan pada masa Nabi SAW.”
Selanjutnya Ibnu Abbas berkata,
“Aku mengetahuinya dan mendengarnya apabila mereka telah selesai dari shalatnya dan hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, maka ada pendapat yang tidak menyalahkan berdzikir sehabis Shalat fardu dengan suara yang keras.
Al-Imam Asy-Syafi'i berpandangan bahwa berdzikir dengan suara keras, hukumnya adalah sunat bila ada dasarnya untuk mengajarkan kepada para makmum. Hal ini diungkapkan oleh Imam Syihabuddin Al-Qasthalani sebagai berikut: Al-Imam
Asy-Syafi'i rahimahullah sebagaimana telah diceritakan oleh Imam Nawawi rahimahullah, mempertangguhkan hadits ini, bahwasanya Nabi SAW dan para sahabatnya mengeraskan suaranya dalam berdzikir sehabis Shalat fardhu itu bersifat temporer, karena ada motif mengajarkan sifat dzikir, mereka tidak secara kontinyu mengeraskan suaranya.
Menurut pendapat yang terpilih, imam dan makmum tidak mengeraskan suaranya kecuali bila dipandang perlu untuk mengajar hadirin.
Imam Syafii dalam kitabnya, Al-Umm, menyebutkan bahwa beliau memilih imam dan makmun agar berdzikir setelah selesai shalat, dan merendahkan suara dalam berdzikir kecuali bagi imam yang hendak mengajarkan dzikir, harus mengeraskan suara hingga ia menganggap cukup mengajarkannya, setelah itu membaca secara sirr (lirih).
Imam Zainuddin, pengarang kitab Fathul Mu’in, berfatwa bahwa disunnatkan berdzikir dan berdoa secara sirr seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan berdoa secara sir bagi orang yang shalat sendirian (munfarid), berjama’ah (makmum), imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.

Dzikir Berjamaah
Ddzikir berjamaah setelah shalat adalah pemandangan yang sering kita saksikan, namun tidak sedikit juga masjid yang tidak melakukan ddzikir secara berjamaah. Masalah ini adalah masalah yang paling sering diperdebatkan, antara mereka yang mendukung dengan yang menentangnya.
1. Yang Mendukung
Kalangan yang mendukung ddzikir berjamaah setelah shalat umumnya menggunakan hadits-hadits berikut ini :
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu dari Abu Sa’id radhiyallahuanhu, keduanya berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk ddzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi dalam syarah beliau mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan tentang kelebihan majlis-majlis dzikir dan kelebihan orang-orang yang berdzikir, serta kelebihan berhimpun untuk berdzikir beramai-ramai.
Selain itu juga ada hadits lain yang menguatkan masyru'iyah ddzikir berjamaah.
Suatu ketika Rasulullah SAW menemukan para shahabatnya sedang duduk berkumpul dalam satu halaqah. Beliau pun bertanya,”Ada apa kalian duduk berkumpul?”. Para shahabat menjawab,”Kami duduk berkumpul untuk berddzikir kepada Allah serta memujinya atas petunjuk-Nya kepada kami ke dalam Islam, serta atas nikmat yang diberikan kepada kami”. Beliau bertanya lagi meyakinkan,”Kalian tidak duduk berkumpul kecuali karena hal itu?”. Para shahabat menjawab,"Ya, tidak ada yang membuat kami duduk berkumpul kecuali karena hal itu". Maka beliau SAW pun bersabda :
أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ
Aku tidak melontarkan tuduhan kepada kalian, namun Jibril telah memberiku kabar bahwa Allah Azza wa Jalla telah membanggakan kalian di depan para malaikat (HR. Muslim)
Selain kedua hadits di atas, juga ada hadits lain yang senada, hanya saja isinya lebih kepada membaca Al-Quran dan mempelajari isinya.
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam suatu rumah dari rumah-rumah Allah, lalu mereka membaca kitabullah dan mereka saling mengajari di antara mereka, melainkan diturunkan ketenangan di tengah mereka, diliputi rahmat, dikelilingi oleh malaikat dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim)
2. Kalangan yang Tidak Mendukung
Meski hadits-hadits di atas sudah dijamin keshahihannya, namun ada juga kalangan yang tetap bersikeras untuk tidak mendukung adanya dzikir bersama, baik yang dilakukan setelah shalat atau pun dalam bentuk majelis ddzikir.
Alasannya, meski hadits-hadits di atas derajatnya semua shahih, namun mereka tetap tidak membolehkan bila ddzikir berjamaah seperti yang umumnya dilakukan oleh banyak kalangan, dengan beralasan pada hal-hal berikut :

a. Majelis Ilmu
Majelis ddzikir atau ddzikir berjamaah yang dimaksud di dalam hadits-hadits di atas menurut mereka bukan membunyikan suara ddzikir dengan suara keras dan bersama-sama. Dalam pandangan mereka, hadits-hadits di atas terkait dengan keutamaan majelis-majelis ilmu, dimana di dalamnya diajarkan berbagai ilmu agama.
Tentu saja pendukung ddzikir berjamaah tidak menerima sanggahan lawannya, karena hadits di atas jelas-jelas menyebutkan bahwa para shahabat ridhwanullahi 'alaihim duduk untuk berddzikir dan bertahmid memuji Allah.
b. Tidak Ada Komandan
Kalaupun tetap dipahami bahwa majelis ddzikir di dalam hadits-hadits di atas adalah majelis tempat berddzikir dengan lidah dan membaca lafadz-lafadz yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, mereka mengkritik bahwa seharusnya tidak perlu dipimpin oleh satu orang lead vocal. Jadi lafadz ddzikir itu dibaca masing-masing, bukan secara berirama dengan satu pimpinan.
Para pendukung ddzikir berjamaah menyanggah keberatan lawannya dengan mengatakan bahwa tidak ada dasar untuk melarang berddzikir dengan adanya pimpinan. Sebab shalat berjamaah saja ada pimpinannya, dimana di dalamnya juga ada ddzikir dan doa (qunut), dan makmumnya mengaminkan.
c. Teks Ddzikir Bukan Dari Rasulullah SAW
Teks ddzikir yang dibaca umumnya bukan yang dari Al-Quran atau dari ddzikir-ddzikir yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dan hal ini menjadi sebuah pertanyaan, karena ddzikir itu merupakan ibadah mahdhah yang membutuhkan contoh dari Rasulullah SAW, bukan sesuatu yang dikarang atau digubah sendiri.
Para pendukung ddzikir berjamaah menyanggah bahwa teks ddzikir bukan dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Memang ada kalangan ahli tariqat tertentu yang punya lafadz-lafadz ddzikir hasil karya gubahan mereka, namun yang umumnya dibaca orang dalam ddzikir berjamaah setelah shalat adalah lafadz-lafadz yang ma'tsur dari Rasulullah SAW.

d. Susunan Teks Ddzikir Bukan Dari Rasululah SAW
Kalau teks ddzikir yang dibaca itu ma'tsur (diwarisi) dari Rasullullah SAW, mereka masih mempertanyakan susunannya yang seolah-olah dibakukan menjadi rangkaian yang selalu dibaca dengan susunan yang tidak pernah berubah.
Padahal asalnya dari hadits-hadits yang terpisah-pisah dan jumlahnya cukup banyak, tetapi kenapa yang dibaca yang lafadz tertentu saja. Apalagi Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan untuk dibaca dengan urutan tertentu, atau dengan jumlah tertentu.
Hal ini menjadi sebuah pertanyaan tersendiri bagi mereka yang tidak mendukung ddzikir berjamaah.
Para pendukung ddzikir berjamaah menyanggah bahwa bila tidak ada susunan yang baku dari Rasulullah SAW berarti tidak boleh dibaca secara rutin dengan urutan yang sama. Sebab prinsipnya selama tidak ada larangan, maka hukumnya boleh dibaca. Karena dalam pandangan mereka, urutan bacaan ddzikir sifatnya bebas, mau dibaca dengan urutan yang sama setiap hari hukumnya boleh, tetapi tidak dibaca seperti itu juga boleh juga. Tapi intinya tidak ada aturan yang melarang.
Dan perdebatan masalah ini sudah ada sejak 14 abad yang lalu. Sepanjang zaman itu umat Islam sering kali habis waktunya hanya untuk memperdebatkan hal-hal yang seperti ini.
Apakah kita akan juga ikut berdebat dalam masalah ini?

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar