Sabtu, 18 Oktober 2014

Shalat Sunnah Qobliyah Jum'at..?

SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUM’AT ?

Oleh
Syaikh Masyhur Hasan Salman


Sebagian orang beranggapan, bahwa shalat qabliyah (sebelum) Jum’at ada dan berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebiasaan ini dilakukan setelah adzan pertama dikumandangkan, yaitu ketika khatib belum naik mimbar. Ironisnya, shalat ini dikomando oleh muadzin dengan menyerukan shalat sunnah Jum’at. Benarkah perbuatan ini berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pada hari Jum’at, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu keluar dari rumahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan naik ke mimbar. Setelah muadzin mengumandangkan adzan lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah. Andaikan shalat sunnah sebelum Jum’at benar adanya, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang pertama yang melakukannya serta memerintahkan kepada para sahabat Radhiyallahu anhum setelah adzan dikumandangkan.

Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada adzan selain ketika khatib di atas mimbar. Imam Syafi’i rahimahullah berkata,”Dan aku menyukai satu adzan dari seorang muadzin ketika (khatib) di atas mimbar, bukan banyak muadzin,” kemudian beliau menyebutkan dari As Saib bin Yazid, bahwa pada mulanya adzan pada hari Jum’at dilaksanakan ketika seorang imam duduk di atas mimbar. (Ini terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar. (Ketika masa) pemerintahan Utsman dan kaum muslimin menjadi banyak, Utsman memerintahkan adzan yang kedua, maka dikumandangkanlah adzan tersebut dan menjadi tetaplah perkara tersebut.” [Al Um 1/224]

Memang benar, bahwa orang yang mengadakan dan memerintahkan adzan kedua adalah Ustman Radhiyallahu anhu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullah, ”Adapun adzan pada hari Jum’at, maka aku tidak mengetahui adanya perbedaan, bahwa Utsmanlah orang pertama yang mengerjakan dan memerintahkannya". [Tamhid 10/247]. 

Akan tetapi perlu diingat, bahwa adzan yang diadakan oleh Utsman Radhiyallahu anhu tersebut dilakukan di Zaura, yaitu sebuah rumah di pasar. Dan inipun, beliau lakukan karena berbagai sebab. Diantaranya:

1. Pada saat pemerintahan Utsman Radhiyallahu anhu, keberadaan manusia sangat banyak dan letak rumah-rumah mereka berjauhan. [Umdatul Qari 3/233].

2. Adzan tersebut dilakukan untuk memberitahukan manusia, bahwa Jum’at telah tiba.

3. Agar manusia bergegas untuk menghadiri khutbah. [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 18/100].

Inilah diantara penyebab yang mendorong Ustman Radhiyallahu anhu mengadakan adzan tersebut. Akan tetapi, sebab-sebab tersebut jarang kita temui pada masa sekarang ini. Terlebih, hampir setiap melangkah, kita temukan banyak sekali masjid yang mengumandangkan adzan Jum’at. Sedangkan pada zaman Ustman Radhiyallahu anhu, masjid hanya satu dan rumah-rumah berjauhan letaknya dari masjid tersebut karena banyaknya, sehingga suara muadzin yang menyerukan adzan dari pintu masjid tidak sampai ke pendengaran mereka. Lain halnya pada masa kita sekarang ini, banyak sekali masjid yang memasang pengeras suara di setiap menara, sehingga memungkinkan terdengarnya suara muadzin. Dengan begitu, tercapailah tujuan yang mendorong Utsman untuk mengadakan adzan tersebut, yaitu untuk memberitahukan manusia.

Jika keadaannya demikian, maka mengambil adzan Utsman Radhiyallahu anhu untuk tujuan yang hampir tercapai, tidak boleh. Terlebih -seperti dalam kondisi sekarang ini- merupakan penambahan terhadap syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sebab yang dapat dibenarkan. Seakan inilah yang menyebabkan Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu ketika berada di Kufah, beliau mencukupkan diri dengan sunnah dan tidak menggunakan adzan yang diadakan oleh Utsman Radhiyallahu anhu, sebagimana hal ini dikatakan oleh Qurthubi di dalam tafsirnya. [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 18/100].

Dari penjelasan ini, kami dapat menarik kesimpulan, bahwa kami berpendapat, untuk mencukupkan diri dengan memakai adzan (yang berasal dari) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini dikumandangkan ketika imam naik ke mimbar, karena hilangnya sebab yang dapat dibenarkan bagi penambahan Utsman dan untuk mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Al Ajwibah An Nafi’ah, hal 10-11]

Jika telah jelas, bahwa adzan yang dilakukan Utsman Radhiyallahu anhu bukan di masjid, maka menjadi terang bagi kita, bahwa shalat sunat qabliyah Jum’at, tidak ada waktunya. Andaikata shalat tersebut disyari’atkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka para sahabat Radhiyallahu anhum akan mengerjakannya, dan tentu pula akan kita ketahui lewat riwayat-riwayat dari mereka.

Apabila ada yang mengatakan sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang masuk ke masjid untuk melakukan shalat dua raka'at, (ketika) beliau sedang berkhutbah, tetapi (orang tersebut) belum mengerjakannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :

قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ

Berdirilah dan shalatlah dua raka’at.

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah dan Jabir, keduanya mengatakan,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ قَالَ لَا قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

Sulaik Al Ghathafani datang, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ”Apakah engkau telah shalat dua raka’at, sebelum datang (kesini)?” Sulaik menjawab, Belum. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, Shalatlah dua raka’at, dan ringankanlah pada keduanya. [Sunan Ibnu Majah, 1/353–354 no. 1114].

Abu Syamah berkata, "Sebagian pengarang (kitab) pada masa kami berkata, ‘Ucapan (Nabi) ‘Sebelum engkau datang (kesini)’ menunjukkan, bahwa dua raka’at tersebut adalah shalat sunnah qabliyah Jum’at, bukan (shalat) tahiyyat masjid. Sepertinya, perkataan ini disebabkan kerancuan memahami makna ucapan Rasulullah ‘Sebelum engkau datang (kesini)’ yaitu sebelum masuk ke masjid, dan (menunjukkan) bahwa orang tersebut telah shalat (qabliyah Jum’at) di rumah. Padahal bukan begitu!

Sesungguhnya, hadits tersebut dikeluarkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya, dan tidak ada satupun yang menggunakan lafadz “قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ” (sebelum engkau datang). 

Dalam Shahih Bukhari disebutkan, dari Jabir, ia berkata

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ

Seseorang datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah pada hari Jum’at, maka Nabi berkata kepada orang tersebut, ”Apakah engkau telah shalat?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi berkata, ”Bangun dan shalatlah!” [Shahih Bukhari, 2 / 407 no. 930 dan 2 / 412 no. 931]
.
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir pula, ia berkata,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَعَدَ سُلَيْكٌ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَكَعْتَ رَكْعَتَيْنِ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْهُمَا

Sulaik Al Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar dan duduklah Sulaik sebelum ia melakukan shalat. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Sudahkan engkau shalat dua raka’at?” Dia menjawab, “Belum” Beliau bersabda, “Wahai, Sulaik! Bangun dan ruku’lah (shalatlah) dua raka’at. Dan Sulaik pun mengerjakannya. [Shahih Muslim, 2 /597 no. 59, hadits dari Jabir]

Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “قُمْ” (bangunlah!) menunjukkan, bahwa Sulaik tidak merasa (untuk shalat), kecuali ia siap-siap duduk, dan ia pun duduk sebelum mengerjakan shalat, sehingga Rasulpun berbicara kepadanya dengan memerintahkan untuk bangun. Dan boleh jadi Sulaik shalat dua raka’at dekat dengan pintu, tatkala ia masuk pertama kali ke masjid. Kemudian ia mendekat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar khutbah, maka Rasul bertanya kepadanya “Sudahkah engkau shalat?” Ia menjawab,”Belum.”

Dan perkataan Rasulullah “قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ” (sebelum engkau datang), sebagaimana yang dikeluarkan Ibnu Majah, boleh jadi maknanya adalah sebelum engkau mendekat kepadaku untuk mendengar khutbah, dan bukan “sebelum engkau masuk masjid”. Maka sesungguhnya, shalatnya sebelum masuk masjid tidak disyari’atkan, bagaimana (mungkin) ia ditanya tentang hal itu?! Dan yang diperintahkan setelah masuknya waktu Jum’at adalah bergegas menuju tempat shalat dan tidak disibukkan dengan hal lain. Sebelum masuk waktu, tidak benar mengerjakan sunat, dengan persangkaan bahwa hal tersebut disyari’atkan. [Al Baits ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 95]

Kebenaran ucapan tersebut didukung dengan berbagi hal. 

Pertama : Al Hafizh Al Muzi berkata tentang lafazh Ibnu Majah (قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ). Ini merupakan kekeliruan perawi (periwayat). Sebenarnya, ucapan tersebut adalah “قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ” (sudahlah engkau mengerjakan shalat sebelum duduk?), maka orang yang mengganti (lafazh-lafazh tersebut) salah. 

Al Muzi berkomentar pula,”Dan kitab Ibnu Majah, sering dipergunakan oleh para Masyaikh yang kurang memperhatikannya. Berbeda dengan Shahih Bukhari dan Muslim. Para penghapal hadits sering menggunakan dan sangat memperhatikan keorisinilan dan pergantiannya. Oleh karenanya, di dalam (kitab Ibnu Majah) terjadi kesalahan dan penggantian.

Kedua : Sesungguhnya, orang-orang yang mencurahkan perhatian terhadap keotentikan kitab-kitab sunan sebelum dan sesudahnya, serta mengarang dalam masalah ini dari kalangan pakar hukum dan sunnah serta lainnya, tidak satupun dari mereka menyebutkan hadits ini dalam sunnah qabliyah Jum’at. Akan tetapi, mereka menyebutkannya dalam sunnahnya mengerjakan tahiyat masjid ketika imam di atas mimbar. Dan dengan hadits tersebut, mereka membantah orang yang melarang mengerjakan sunnah tahiyat masjid dalam keadaan ini. Seandainya yang dimaksudkan adalah qabliyah Jum’at, maka akan disebutkan di sana, serta keterangan tentang qabliyah Jum’at, keterjagaan dan kepopulerannya lebih utama dibanding tahiyat masjid. [Zaadul Ma’ad 1/435].

Ketiga : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan melakukan shalat dua raka’at, kecuali kepada orang yang masuk masjid, karena hal ini merupakan shalat tahiyat masjid. Andaikan merupakan sunnah Jum’at, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula kepada orang-orang yang duduk dan tidak mengkhususkan perintah tersebut kepada orang yang masuk saja. [Zaadul Ma’ad 1/435 dan Al Baits ‘Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, hlm. 95]

Kemudian, apabila ada yang mengatakan “Kemungkinan kuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat qabliyah di rumahnya setelah zawalnya (tergelincirnya) matahari, kemudian keluar.

Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ”Seandainya itu terjadi, niscaya para istri beliau akan menceritakannya, sebagaimana mereka menceritakan semua shalat beliau di rumahnya. Baik shalat siang maupun malam, bagaimana shalat tahajudnya dan bangun pada malam hari. Tentang hal itu (qabliyah Jum’at, red.) tidak benar sedikitpun. Dan pada asalnya adalah ketidakadaanya. (Ini) menunjukkan, bahwa hal tersebut tidak terjadi dan tidak disyari’atkan.

Adapun sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Abdurrahman bin Muhammad bin Yasir dalam (hadits Abu Qasim Ali bin Ya’kub, 108) dari Ishaq bin Idris, telah menceritakan kepada kami Aban, telah bercerita kepada kami, Ashim Al Ahwal dari Nafi’ dari ‘Aisyah secara marfu’ dengan lafazh,

كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمْعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي أَهْلِهِ

Rasulullah biasa shalat dua raka’at sebelum Jum’at di rumahnya.

Maka hadits ini batil lagi palsu. Ishaq telah merusaknya. Dia adalah al aswari al bashari. Ibnu Mu’ayyan berkata tentang Ishaq,” Dia seorang pendusta, pemalsu hadits.” (Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, hlm. 28). Pendusta ini, hanya seorang diri dalam meriwayatkan hadits ini.

Kemudian apabila ada yang berkata “Sesungguhnya, Jum’at merupakan shalat dzuhur yang diringkas. Maka seperti Dzuhur, Jum’at pun memiliki sunnah qabliyah.” 

Menanggapi pendapat seperti ini, Syaikh Masyur Hasan Salman berkata: Perkataan ini keluar dari kebenaran dari berbagai sisi.

1. Tidak boleh menggunakan qiyas dalam pensyari’atan shalat. [Lihat Bidayah Mujtahid 1/172) dan Al Baits ’Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, hlm. 92].

2. Sesungguhnya, sunnah adalah apa yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa ucapan ataupun perbuatan, atau sunnah khalifah beliau yang mendapat petunjuk. Dan dalam permasalahan kita ini, tidak termasuk hal tersebut. Tidak boleh menetapkan sunnah-sunnah seperti dalam hal ini dengan qias. Karena penetapan qias adalah termasuk hal-hal yang sebab perbuatannya diakui pada zaman Nabi, sehingga bila Rasulullah tidak melakukan dan tidak mensyari’atkannya, maka meninggalkan perbuatan tersebut merupakan sunnah.

3. Jum’at merupakan shalat yang berdiri sendiri yang berbeda dengan shalat Dzuhur dalam hal jahr (mengeraskan bacaan), bilangan raka’at, khutbah dan syarat-syaratnya namun waktu pelaksanaannya sama dengan zhuhur. Dan bukanlah menyamakan sesuatu karena ada unsur kesamaan lebih baik dari pada membedakan, bahkan dalam hal ini membedakan antara zhuhur dan jum’at lebih baik karena segi perbedaannya lebih banyak. [Zaadul Ma’ad 1/432].

4. Dalam Shahih-nya, Bukhari mengeluarkan riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ 

Aku shalat bersama Nabi dua raka’at sebelum Dzuhur, dua raka’at setelah Dzuhur, dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at setelah Isya’ serta dua raka’at setelah Jum’at.

Riwayat tersebut menunjukkan, bahwa Jum’at -menurut mereka- bukanlah Dzuhur. Seandainya Jum’at masuk dalam nama Dzuhur, niscaya jum’at tidak perlu disebut. Kemudian dalam riwayat tersebut tidak disebutkan adanya sunnah sebelum Jum’at, melainkan sesudahnya saja. Ini menunjukkan bahwa tidak ada sholat sunnat sebelum Jum’at. [Al Baits ‘Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, 94].

5. Anggaplah bahwa Jum’at merupakan Dzuhur yang qashar (diringkas). Akan tetapi Nabi n tidak pernah melakukan shalat sunnah Dzuhur yang diringkas dalam safarnya, baik sebelum maupun setelahnya. Beliau hanya mengerjakan sunnat-sunnat Dzuhur ketika mengerjakan dhuhur secara sempurna. Maka, jika keberadaan sunnah dalam Dzuhur yang diringkas berbeda dengan Dzuhur yang genap, maka apa yang disebutkan oleh mereka menjadi bantahan bagi mereka, bukan membela mereka.

Oleh sebab itulah, mayoritas (jumhur) imam sepakat, bahwa tidak ada sunnah qabliyah Jum’at yang ditentukan dengan waktu dan bilangan tertentu. Karena sunnah itu hanya boleh ditetapkan dengan ucapan ataupun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan shalat tersebut, baik dengan perkataan maupun perbuatannya. Demikian ini merupakan madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i serta kebanyakan pengikutnya. Ini pula yang populer di kalangan madzhab Imam Ahmad. [Fatawa Ibnu Taimiyyah, 1/136 dan Majmunah Ar Rasail Al Kubra, 2/167-168]

Al ‘Iraqi berkata, ”Dan aku tidak mengetahui ketiga imam (tersebut) menganjurkan (shalat) sunnah qabliyah Jum’at.”

Muhadits Nashiruddin Al Albani memberi keterangan dengan ucapannya: Oleh karena itu, perbuatan yang disangka sunnah ini (sebelum Jum’at) tidak disebutkan dalam kitab Al Um milik Imam As syafi’i, tidak pula di dalam kitab Al Masail oleh Imam Ahmad. Serta tidak pula di kitab-kitab milik selain mereka dari para imam terdahulu, sepanjang pengetahuanku.”

Oleh karena itu, aku (syaikh Al Albani) katakana, “Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan shalat sunnah (qabliyah, red.) ini, tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak pula mengikuti para imam. Akan tetapi, mereka taqlid kepada orang-orang belakangan, yang keberadaan mereka sama seperti orang-orang yang mengikuti mereka yaitu sama-sama mengekor (bertaqlid), bukan seorang mujtahid. Maka (sungguh) mengherankan orang yang mengekor (bertaqlid) kepada pengerkor. [Al Ajwiba An Nafi’ah, 32].

KESIMPULAN
Dari penjelasan di muka, menjadi jelaslah bagi kita, kesalahan orang-orang yang mengerjakan shalat diantara dua adzan pada hari Jumat, baik dua raka’at maupun empat raka’at dan semisalnya; dengan keyakinan, bahwa hal itu merupakan sunnah sebelum Jum’at, sebagaimana mereka shalat sunnah sebelum Dzuhur dan mengeraskan niat mereka.

Karena nash-nashnya jelas, bahwa yang benar ialah tidak ada shalat sunnah sebelum Jum’at. Dan tidak ada sesudah kebenaran, melainkan kesesatan. Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ditunjuki pengetahuan agama, dan diselaraskan untuk mengamalkannya dalam keadaan ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amin.

(Diolah dan diringkas oleh Abu Azzam Bin Hady dari kitab Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushalin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, hlm. 351-361)