Adakah
Bid`ah Hasanah ?
Sebagian muslimin ketika dinasihati untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan
bid’ah mereka, tidak jarang diantara mereka berdalih bahwa yang mereka lakukan
adalah bid’ah hasanah, sehingga mereka berkeras bahwa yang mereka lakukan adalah
kebaikan. Artikel ini menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan
dijelaskan syubhat-syubhat yang biasanya digunakan sebagai alasan pembenaran
bid’ah mereka.
Telah disebutkan oleh Rasulullah bahwa:
“Berhati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan
setiap bid’ah itu sesat.(HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang
bukan darinya maka dia tertolak.” (HR. Bukhari Muslim).
“Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya,
maka dia tertolak.”(HR. Muslim).
Bid’ah adalah setiap hal yang tidak mempunyai dasar dalam agama yang
dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah, seperti:
- Upacara maulid Nabi, isra
mi’raj, malam nisfu sya’ban dan sebagainya
- Berdzikir dengan tarian, tepuk
tangan dan pukulan terbang begitu juga meninggikan suara dan
menggantinama-nama Allah seperti dengan ah, ih, aah, hua, hia.
- Mengadakan acara selamatan dan
mengundang para kyai untuk membaca Al-Quran setelah wafatnya seseorang dan
lain sebagainya.
Hal ini merupakan bid’ah dalam hal agama yang ditolak oleh Islam dan
hukumnya sesat. Rasulullah sebagai pembawa risalah kebenaran dan sebaik-baik
teladan umat telah melaksanakan tugasnya dengan amat sempurna. Tiada satupun
dari perkara agama yang luput beliau sampaikan, hingga Allah berfirman ketika
haji wada’ yang menjelaskan bahwa tugas kerasulan beliau telah selesai, yaitu:
“Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, kucukupkan nikmatku atasmu
serta kuridhoi Islam sebagai agamamu.(QS. Al-Maidah: 3).
Imam Malik rahimahullah berkata, “Siapapun yang membuat bid’ah dalam Islam
dan menganggapnya hasanah (baik), maka sungguh ia telah menyangka bahwa Nabi
Muhammad telah mengkhianati misi kerasulan, berdasarkan firman Allah ta’ala
diatas, maka yang tidak dijadikan-Nya agama pada saat itu begitupun pada saat
ini.”(Al-I’tishom I/64).
Asy-Syaukani berkata, “Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya
sebelum mewafatkan Nabi-Nya, disebut apalagi pendapat orang setelah Allah
menyempurnaknnya?!? Jika mereka berkeyakinan itu termasuk dalam perkara agama,
berarti belumlah sempurna kecuali denagn disertakannya pendapat mereka dan itu
adalah penolakan terhadap Al-Quran. Adapun jika mereka tidak berkeyakinan bahwa
itu bukan termasuk agama, lalu untuk apa menyibukkan diri dengan sesuatu yang
bukan agama???”
Ini merupakan pukulan telak serta dalil yang agung tak mungkin terelakkan,
dari itu jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama untuk
melumpuhkan para ahli bid’ah.
Asy-Syaukani kembali berkata, “Hadist-hadist di awal pembahasan ini
termasuk kaidah-kaidah dasar agama yang mencakup berbagai hukum secara tak
terbatas, betapa sangat tepat dan lantangnya dalil, ini dalam
mematahkan pendapat di antara ahli fiqih yang membagi bid’ah ke dalam berbagai
kategori dan menjadikan indikasi ketertolakan bid’ah pada sebagiannya tanpa
menyertakan dalil yang mengkhususkan baik ‘aqli maupun naqli.”(Nailul author
2/69).
Sabda Rasulullah yang berbunyi, “Setiap bid’ah adalah sesat” telah
dijelaskan oleh para ulama dengan sangat gamblang, diantaranya yaitu:
- Ibnu Rajab berkata,” Kalimat
ini simple dan sederhana namun memiliki cakupan makna yang luas tanpa
kecuali serta merupakan kaidah dasar yang agung di antara sekian
kaidah-kaidah agama.”(Jami’ul ‘Ulum:28).
- Ibnu Hajar berkata,” Sabda
beliau tersebut adalah kaidah agama yang global baik secara tersurat
(manthuq) maupun secar tersirat (mafhum)nya. Secara aplikatif dapat
dikatakan sebagai berikut,” Hukum hal ini adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah kesesatan. Maka tidak termasuk dalam syari’ah karena semua syari’ah
adalah petunjuk, sehingga jika kedua premis tersebut benar maka benarlah
hasilnya.”(Fathul Baary 13/254).
- Syaikh Al-Utsaimin berkata,
“Sabda beliau di atas berindikasi global, umum serta menyeluruh, diperkuat
pula dengan indikator keumuman kata yang terkuat yaitu ”Kullu(setiap)”.
Beliau melanjutkan, “Dengan demikian yang disebut sebagai bid’ah hasanah
terbantah dengan hujjah ini, tidak ada lagi jalan yang dapat dilalui oleh
orang-orang yang berkeinginan untuk menjadikan bid’ah-bid’ahnya sebagai
bid’ah hasanah.
Inilah pedang kita untuk membantah mereka, karena hujjah ini dibuat dalam
ruang produksi kenabian dan kerasulan, bukan dalam pabrik kerancuan dan
kekacauan. Ia didesign oleh Baginda Rasulullah dengan amat sempurna dan layak
guna di setiap zaman. Mungkinkah orang yang bersenjatakan pedang semacam ini
mampu dilawan dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan bid’ah lalu
mengklaimnya sebagai bid’ah hasanah??? Sementara di sisi lain kita mendapati bahwa
amat sangat jelas Rasulullah bersabda, “Setiap bid’ah adalah sesat.”
Telah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa,
“Semua bid’ah adalah sesat.” Akan tetapi diantara para pelaku bid’ah dengan
berbagai cara telah melontarkan syubhat-syubhat untuk mendukung kebid’ahan
mereka. Diantara beberapa syubhat tersebut bisa anda baca pada uraian berikut.
Semoga kita bisa mengambil manfaatnya. Wallahu waliyut taufiq.
- Pemahaman mereka terhadap
hadits, “Barang siapa yang memberi contoh yang baik di dalam Islam, maka
dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah itu
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa memberi contoh
yang buruk dalam Islam maka dia akan mendapatkan beban dosanya serta dosa
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi beban mereka sedikitpun.”
(HR. Muslim: 1017).
Bantahan:
- Bahwa makna barang siapa dalam
hadits tersebut adalah barang siapa yang memberi contoh aplikatif bukan
inovatif. Maka yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah mengamalkan
sesuatu yang telah ada dalam sunnah nabawiyah (bukan yang diada-adakan).
- Yang menyatakan, “Barang siapa
yang memberi contoh yang baik dalam Islam” adalah yang menyatakan, “Setiap
bid’ah adalah sesat” Dan mustahil beliau mengatakan sesuatau yang
mendustakan pernyataannya sendiri sehingga informasi Islam ini
berbenturan. (Al-Ibda’ Ibnu Utsaimin hal:19).
- Belum pernah ada keterangan
dari seorangpun diantara salafus sholeh bahwa beliau menafsirkan “sunnah
hasanah” dengan bid’ah yang mereka ada-adakan dalam masalah agama semau
mereka.
2. Pemahaman mereka terhadap ucapan Umar Bin Al-Khattab
yang mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”(HR. Bukhari
no 2010).
Bantahan:
- Seandainya kita terima apa yang
mereka dakwahkan bahwa ini merupakan indikasi adanya bid’ah hasanah
(meskipun bukan begitu adanya), maka sudah jelas bahwa perkataan
Rasulullah tidak mungkin dibatalkan oleh perkataan siapapun diantara
manusia, Abu Bakar sekalipun yang merupakan orang termulia diantara umat
ini setelah Rasulullah, atau Umar sebagai yang kedua dan lain-lainnya.
Imam Ahmad Bin Hambali berkata, “Barang siapa yang menolak hadits Nabi,
maka sesungguhnya dia berada di tepi jurang kehancuran” (Thabaqal
Al-Hanabilah 2/15 dan Al-Ibanah 1/260).
- Bahwa beliau mengatakan hal itu
pada saat menyatukan orang dalam sholat tarawih, sementara sholat tarawih
bukanlah bid’ah melainkan sejatinya sunnah berdasarkan hadits yang
disampaikan oleh Aisyah Bahwa Rasulullah pada suatu malam sholat di dalam
masjid, maka dimakmumi oleh orang-orang begitupula pada malam berikutnya
bahkan bertambah banyak. Lalu tatkala mereka telah berkumpul pada malam
ketiga atau keempat beliau tidak keluar, seusai sholat shubuh beliau
berkata: “Aku tahu apa yang kalian lakukan dan tidak ada alasan yang
menghalangiku melainkan kekhawatiranku akan diwajibkannya (sholat malam
ini) atas kalian.” Dan ini terjadi di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari no
1129).
- Jika yang telah beliau lakukan
itu bukan bid’ah, lalu apakah makna bid’ah yang beliau maksudkan? Maksud
beliau tentang bid’ah tersebut adalah secara bahasa bukan dalam konteks
syar’i. Bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dilakukan tanpa
didahului contoh sebelumnya, maka tatkala itu tidak dilakukan di zaman Abu
Bakar dan tidak pula di awal zaman Umar, jadilah dia bid’ah dalam
pengertian bahasa karena tidak dicontohkan sebelumnya. Adapun dalam
konteks syar’i maka tidak termasuk bid’ah karena ada contoh dari
Rasulullah.
- Dari sini jelas sebab
ditinggalkannya berjama’ah dalam syari’ah sholat tarawih. Maka tatkala
sebab tersebut telah tiada Umarpun menghidupkannya kembali. Jadi apa yang
dilakukannya memiliki dasar dari perbuatan Rasulullah.
3. Pemahaman mereka terhadap atsar, “Apapun yang dianggap baik oleh kaum
muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .” (Musnad Ahmad 1/39).
Bantahan:
- Periwayatan atsar tersebut
hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah.
Ibnul Qoyyim berkata, “Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak
seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang
hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al-Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim
hal:167). Komentar Az-Zaila’iy: “Gharib secara marfu’ dan tidak aku
dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.” (Nashburrayah 4/133).
- Fungsi alif lam dalam kata
“almuslimun” (pada atsar di atas) adalah untuk menyatakan sesuatu yang
telah diketahui yaitu para shahabah sebagaimana yang ditunjukkan oleh alur
kalimat dalam atsar tersebut dimana dikatakan di situ, “Sesungguhnya Allah
melihat hati-hati para hambaNya, maka Allah dapatkan hati Muhammad
sebaik-baiknya lalu Allah pilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya
untuk mengemban misi-Nya, di mana hati para shahabah adalah yang terbaik
lalu Allah jadikan mereka para pendukungnya. Mereka berperang demi membela
agamanya, maka apapun yang dianggap baik para muslimun tersebut baik
pulalah dalam pandangan Allah. Sebaliknya apapun yang dianggap buruk oleh
mereka, maka buruk pulalah dalam pandangan Allah.”
- Bagaimana mungkin berdalih
untuk menganggap baiknya sebuah bid’ah dengan perkataan seorang shahabat
yang merupakan orang yang paling keras dalam melarang dan mengecam bid’ah.
Bukankah telah kita baca bersama beliau mengatakan: “Ikutilah dan jangan
membuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan dan setiap
bid’ah adalah kesesatan.” Dan banyak lagi ucapan-ucapan beliau yang lain
dalam hal ini.
4. Perkataan Imam Syafi’iy (semoga Allah merahmatinya), “Bid’ah itu ada dua
macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.” (Hilyatul aulia 9/113). “Yang
diada-adakan dalam agama itu ada dua macam, yang diada-adakan menyelisihi
Al-Quran atau sunnah, atsar atau ijma’ maka itulah bid’ah kesesatan. Sementara
yang diadakan dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka itu
adalah muhdash yang tidak tercela.”(Manaaqib Asy-Syafi’iy, Albaihaqy 1/469 dan
Al-Baaits Abii Syaamah hal 94).
Bantahan:
- Perkataan Rasulullah merupakan
hujjah atas siapapun, tidak boleh dikalahkan dengan perkataan siapapun.
Tidak berlaku sebaliknya.
- Bila kita cermati perkataan
beliau, tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah terpuji
adalah bid’ah secara bahasa, sebab semua bid’ah dalam syari’ah yang
menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, sedangkan beliau mendefinisikan bid’ah
terpuji dengan batasan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan al-Kitab
dan As-Sunnah dan setiap bid’ah dalam syaria’h pasti menyelisihi firman
Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.
- Beliau (Imam Syafi’iy) terkenal
dengan antusiasmenya yang tinggi dalam mengikuti jejak Rasulullah serta
sangat murka terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah . Beliau
berkata, “Jika telah kau dapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi
sunnah Rasulullah, maka ambillah sunnah itu dan tinggalkan fatwaku.”(Siyar
10/43).
5. Pernyataan Al‘Izz Ibnu Abdissalam: “Bahwa bid’ah terbagi kedalam
kategori wajib, haram, sunnah dan mubah. Dan cara mengetahuinya adalah dengan
menimbang bid’ah tersebut di atas kaidah-kaidah syar’iyyah. Jika masuk dalam
kaidah yang menghasilkan hukum wajib, maka keberadaan bid’ah tersebut menjadi
wajib begitupula jika haram.”(Qowa’idul Ahkam 2/173).
Bantahan:
- Tidak
boleh membantah hadits Rasulullah dengan perkataan siapapun.
- Asy-Syathibi
berkata: “Pembagian ini adalah rekayasa tak berdalilkan syar’i dan
kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya
dari dalil syar’i baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang
terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas
pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan
usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina
mutanafiyaini).” (Al-I’tishom 1/246).
- Bahwa
bid’ah yang dimaksud beliau adalah bid’ah secara bahasa, bukan syar’iy
berdasarkan contoh-contoh yang beliau berikan dalam hal itu.
- Al’Izz
adalah sosok ulama yang terkenal dengan sikap penyerangan serta
pelarangannya yang keras terhadap bid’ah. Bahkan beliau sendiri yang
melarang orang melakukan hal-hal yang mereka namakan dengan bid’ah
hasanah.
Dari uraian di atas dapat kita ambil suatu hikmah yang besar yaitu
bahwasanya perkataan Rasulullah tidak terbantahkan dengan hujjah-hujjah dari
para pembela bid’ah bahkan oleh perkataan shabat beliau sendiri karena semua
apa yang beliau katakan tidak berdasarkan nafsu melainkan karena bimbingan
Allah azza wajalla yaitu wahyu. Sehingga bagaimana mungkin sesuatu yang sesuai
dengan sunnah dikatakan sebagai bid’ah??? Pencampuradukan antara makna bahasa
dengan makna terminologi syar’iy telah membuat ahli bid’ah tersesat dari rahmat
Allah padahal rahmat-Nya amatlah luas kepada orang-orang yang dapat membedakan
antara keduanya karena taufiq dari Allah. Semoga kita termasuk di dalam
golongan ini. Allah musta’an.
[perpustakaan-islam.com]